June 12, 2025

Ustadz Yayan SuryanaTulisan ini disadur dan disusun ulang dari Buku Tanya Jawab Agama Jilid I, sebuah karya yang memuat respons atas berbagai pertanyaan keislaman yang berkembang di tengah masyarakat. Dalam buku tersebut, persoalan tentang sifat Rahman dan Rahim Allah dibahas secara mendalam, tidak hanya dari sisi teologis, tetapi juga dikaitkan dengan realitas hidup manusia sehari-hari. Tulisan ini mencoba mengangkat kembali pokok-pokok pemikiran tersebut dalam bentuk opini yang lebih sistematis dan kontekstual untuk memberikan pemahaman yang lebih segar kepada pembaca.
‎Allah SWT menciptakan alam semesta ini dengan kehendak (Iradah) dan kekuasaan-Nya (Qudrah), bukan tanpa maksud dan tujuan. Firman-Nya dalam Surah Al-Anbiya ayat 16 menegaskan bahwa penciptaan alam ini bukanlah main-main. Termasuk manusia, diciptakan dengan amanah besar untuk beribadah dan mempertanggungjawabkan amal perbuatannya (QS. Al-Mu’minun: 115 dan Adz-Dzariyat: 56).
‎Dalam perspektif tauhid, hal ini menunjukkan bahwa seluruh peristiwa dalam kehidupan manusia adalah bagian dari rencana Ilahi yang sarat makna. Setiap peristiwa—baik kenikmatan maupun ujian—merupakan cerminan dari sifat-sifat Allah, khususnya Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Sifat kasih sayang Allah ini tidak hanya hadir dalam bentuk yang menyenangkan, tetapi juga dalam bentuk ujian yang menuntut kesabaran dan keteguhan iman.
‎Sifat Rahman dan Rahim Allah tidak dapat dipisahkan dari sifat-sifat-Nya yang lain, seperti yang dijelaskan dalam Surah Al-Hasyr ayat 22–23. Kasih sayang-Nya menyelimuti segala sesuatu, bahkan dalam musibah sekalipun, terkandung hikmah dan tujuan yang mulia. Kehidupan dan kematian manusia, sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat, adalah bagian dari ujian untuk mengetahui kualitas amal dan ketundukan hati kepada-Nya, bukan sekadar kepasrahan fisik (QS. Ar-Ra’d: 15).
‎Realitas kehidupan sering menunjukkan bahwa tidak semua kenikmatan membawa kebaikan, dan tidak semua penderitaan membawa keburukan. Kenikmatan yang tidak disyukuri dapat berubah menjadi azab, sementara kesusahan yang disikapi dengan sabar dapat menjadi jalan menuju rahmat. Ini ditegaskan dalam Surah Al-Fajr ayat 15–16, bahwa manusia sering keliru dalam menilai pemberian Allah.
‎Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk memandang segala sesuatu dalam hidup ini sebagai bagian dari ujian dan bentuk kasih sayang Allah. Penerimaan yang disertai rasa syukur dan sabar akan membimbing manusia menuju derajat yang lebih tinggi di sisi Allah. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda bahwa apabila Allah menguji hamba-Nya dengan kebutaan dan ia bersabar, maka Allah akan menggantinya dengan surga. Inilah bentuk kasih sayang Allah yang hakiki.
‎Tawakal dalam Islam bukan berarti menyerah tanpa usaha, tetapi mengiringi usaha dengan kepercayaan penuh kepada ketetapan Allah. Ketika manusia bertawakal setelah berikhtiar, maka itulah bentuk ibadah yang paling paripurna.
‎Kasih sayang Allah juga tampak dalam bentuk penolakan terhadap doa-doa tertentu. Sebagaimana orang tua yang tidak memberikan kendaraan kepada anak kecil karena khawatir membahayakannya, demikian pula Allah tidak mengabulkan semua permintaan hamba-Nya karena Dia lebih mengetahui apa yang terbaik bagi dunia dan akhirat hamba-Nya.
‎Dengan memahami hal ini, kita akan lebih lapang dada dalam menerima takdir dan lebih tekun dalam beribadah. Semua yang datang dari Allah, baik atau buruk menurut penilaian manusia, pada hakikatnya adalah bentuk kasih sayang-Nya yang harus disyukuri dan dijadikan bekal untuk menjadi insan yang lebih baik. (Sumber : mediamu.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *