Musim haji kembali usai. Jamaah haji Indonesia mayoritas sudah tiba kembali di tanah air, membawa segudang pengalaman spiritual dan doa yang tak putus dipanjatkan di Tanah Suci. Doa yang paling sering terdengar dari kerabat dan masyarakat adalah, “Semoga menjadi haji yang mabrur.” Sebuah harapan yang mulia, karena haji mabrur, menurut sabda Nabi Muhammad SAW. “tidak ada balasan baginya kecuali surga.”
Namun, dalam euforia penyambutan ini, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan penting dan reflektif, benarkah kemabruran itu akan terwujud dalam wajah masyarakat kita?
Secara kuantitas, Indonesia adalah negara dengan jumlah jemaah haji terbesar di dunia. Setiap tahun, ratusan ribu umat Islam dari negeri ini memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan rukun Islam kelima. Namun ironisnya, negeri ini masih diliputi oleh praktik korupsi yang merajalela, pelanggaran hukum yang tak kunjung surut, serta perilaku tak beretika yang kerap menghiasi panggung publik. Dalam banyak kasus, kita justru menemukan para pelaku korupsi atau ketidakadilan adalah mereka yang secara simbolik telah menunaikan ibadah haji, bahkan menyandang gelar “haji” di depan namanya.
Realitas ini tentu menohok nurani kita. Sebab haji mabrur sejatinya bukan sekadar gelar atau status sosial, melainkan bukti nyata dari transformasi diri. Ia adalah komitmen untuk hidup jujur, adil, bersih, dan membawa kemaslahatan bagi sesama.
Mabrur berarti kembali dari haji dengan membawa semangat keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan—dalam konteks hubungan kepada Tuhan maupun kepada manusia. Ketika seseorang telah menapaki Arafah dan melempar jumrah di Mina, seharusnya ia telah menaklukkan hawa nafsu, membersihkan hati, dan menyiapkan diri untuk hidup dalam kejujuran, dan amanah sosial.
Tentu kita tidak bisa serta-merta menilai kemabruran seseorang, karena itu adalah urusan antara dirinya dan Allah. Namun kita bisa menakar dampaknya dari perubahan sikap, dari kontribusinya terhadap lingkungan, dan dari sejauh mana ia menjadi pribadi yang lebih baik dalam kehidupan sosial.
Haji yang mabrur bukan hanya dilihat dari kekhusyukan doa atau tangisan di Multazam, melainkan dari keberanian menolak sogokan, dari integritas saat memegang jabatan, dari kesetiaan pada keadilan, serta kepedulian pada sesama yang lemah.
Oleh karena itu, momentum kepulangan jemaah haji harus menjadi titik refleksi kolektif. Bukan sekadar seremonial penjemputan, tetapi peringatan moral bahwa negeri ini membutuhkan lebih banyak orang-orang yang sungguh-sungguh mabrur. Semoga mereka yang baru saja menunaikan ibadah haji benar-benar membawa pulang semangat kesucian, membersihkan ruang-ruang publik dari dosa sosial, dan menjadi teladan dalam membangun masyarakat yang jujur, adil, dan beradab.
Jika haji tidak mengubah laku, maka kita sedang mengabaikan inti ibadah itu sendiri. Jika kemabruran hanya sebatas harapan tanpa realisasi, maka ibadah haji hanya akan menjadi ritual kosong. Mari jadikan kepulangan ini bukan hanya sebagai akhir perjalanan fisik, tetapi awal dari perjalanan moral yang lebih luhur.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Penulis : Dr. Yayan Suryana (Wakil Ketua PWM DIY)